Tok..tok..tok… Suara pintu kamar berbunyi. Tak ada yang
menyahut. Seperti tak berpenghuni lagi. Tapi… apa iya??? Tidak mungkin!
Tante Lola barusan bilang kalau dia masih dikamar. Apa sedang mandi?
Atau lagi ganti pakaian seragam putih abu? Atau mungkin… cowok berkaca
mata dan punya lesung pipi itu masih ngorok ditempat tidur??? Hadeuuh…
kebiasaan buruknya kambuh lagi. Ya, sebut saja namanya Afgansyah Reza.
Aku lebih akrab menyapanya dengan sebutan Afgan. Kami sahabatan sejak
kecil. Kebetulan rumah kami bersebelahan. Seperti hari-hari biasa, kami
selalu bersama kesekolah. Ets… bukan hanya kesekolah, namun setiap saat
jika punya waktu kosong, kami selalu bersama. Aku kembali mengetuk
pintu, “Gan!” berharap seseorang di dalam sana balik merespon sapaanku.
Oh My God! Sepertinya iu harapan yang sia-sia. Tak ada yang menyahut
disana. Aku mencoba meraih gagang pintu kamar, mencoba membukanya yang
masih tertutup rapat. Creeet… Suara decitan pintu terdengar. Ya, aku
berhasil membuka pintu itu walaupun tak selebar mungkin. Aku mengintip
dari luar dan tebakanku benar, tidak meleset sedikitpun! Afgan masih
ngorok diranjang empuknya dengan lelap. Aku mendengus dengan kesal, “
Isshh!” Sebuah bantal berukuran kecil melayang kearahnya dan ternyata
berhasil membangunkan tidurnya yang lelap. “Aww.” batinnya. Cowok minus 4
itu bangun sambil mengucek-ucek ke-2 mata yang sepertinya masih ingin
menyeret dia untuk tidur lagi. “ Loh, Nes? Ternyata lo yang lempar
bantal itu ke gue?” ujarnya sambil melotot karena kaget. Aku berkacak
pinggang di depan kamar sambil tersenyum jahil. “ Iya. Emang gue! Ayo
mandi sana! Lo mau kita terlambat kesekolah?” ucapku sembari nengok arah
arloji yang menghiasi tangan kananku. “ Astaga! Gue kesiangan?!” mukul
jidat dengan wajah bersalah. Cepat-cepat Afgan menuju ke kamar mandi.
Selama 10 menit aku menunggunya di ruang tamu dan akhirnya cowok
bersaudara 4 itu nongol juga dengan wajah fresh, kayaknya udah siap
berangkat. Karena buru-buru kami diantar Pak Anwar, sopir pribadi Afgan.
Tepat pukul 06.45 pagi kami tiba disekolah dan menuju ke kelas. Jam
pertama adalah pelajaran Matematika. Bel masuk sudah berbunyi dari 5
menit yang lalu, tapi, guru pengajar yang sekalian menjadi wali kelasku
itu tampaknya belum datang. Sambil menunggu guru yang terkenal killer
itu datang, teman-teman dikelas termasuk aku dan Afgan mengisinya dengan
kesibukan kami masing-masing. Ada yang sedang melengkapi catatan, ada
yang ngobrol, ada yang membaca, bahkan ada yang kejar-kejaran. Suasana
menjadi hening ketika seorang perempuan setengah baya masuk ke dalam
kelas. Nampaknya tak asing lagi bagiku. Pastinyalah! Itu tak lain Bu
Mela, guru pengajar Matematika yang sekalian juga menjadi wali kelasku. “
Siapa tuh?” bisik Afgan sambil menyenggol tanganku. “ Siapa?” aku balik
bertanya. “ Tuh!” Afgan menunjuk seseorang yang berdiri didekat Bu
Mela. Aku menoleh. Ya, seorang cewek cantik, berkulit putih dan berambut
panjang itu berdiri tak jauh dari Bu Mela. Sangat asing dipandang mata.
Jelaslah! Dia kan murid baru.Beberapa saat kemudian, Bu Mela
mempersilahkannya untuk memperkenalkan diri. Sebut saja namanya Nindy,
anak pindahan dari Malang. Alasan pindah katanya sih karena pekerjaan
orangtua yang dipindah tugaskan ke Jakarta. Selesai memperkenalkan diri,
Bu Mela mempersilahkannya duduk dibangku bagian belakangku dan Afgan.
Tepatnya sebangku dengan Fania, salah 1 sahabat sejatiku juga sejak SMP.
Aku menoleh kearah Afgan. Sebuah senyuman mengembang disana, diwajahnya
yang imut. Jarang moment ini terjadi. 1 pertanyaan mampir dibenakku ‘
what happen?’ *** Membaca, membaca dan terus membaca. Ke-2 mataku tak
mau pindah ketempat lain, kecuali kearah sebuah buku novel yang
menyentuh hati hasil karya seorang penulis ternama yang menjadi salah 1
idolaku. Kebetulan aku selesai dari toilet dan kembali menju ke kelas
dengan membaca novel itu disepanjang koridor sekolah yang sepi. Namun,
tiba-tiba seseorang menarik lenganku. “ Afgan?” ujarku kaget. “ Ssst!
Jangan keras-keras, ntar ketahuan guru!” sambil nengok kanan kiri. “
Kamu ngapain disini? Kenapa nggak dikelas?” kedua keningku berkerut,
merasa ada yang aneh dengan sikapnya. “ Mmm… gue mau minta bantuan lo,
Nes! Dan … ini penting bange buat gue. Sebelumnya, gue nggak pernah
merasa yang kayak gini. Dia yang pertama Nes!” kedua keningku akhirnya
bertemu juga. Makin tak mengerti dengan sikap cowok berlesung pipi itu. “
Maksud lo?” tanyaku. Afgan mendengus dan megang kedua tanganku. “ Gue…
gue suka sama anak baru itu Nes! Emang sih baru ketemu tadi, tapi gue
rasa wajahnya mengalihkan dunia gue!” Afgan natap aku serius banget. “
Ciyeeee…. Yang lagi falling in love. Mmm … oke deh Gan, gue usahain buat
comblangin lo dengan Nindy.” Pluk! Afgan langsung meluk aku. Eraaaat
banget. Pulang sekolah telah tiba. Aku segera membereskan alat tulis
yang berserakan di atas meja. “ Nes, jangan lupa ya!” terdengar bisikkan
suara dari seseorang. Ya, Afgan kembali mengingatkanku untuk
comblangin dia. Hadeeuuh… Afgan-Afgan, gini ya pertama kali falling in
love. Tanpa banyak basa-basi Afgan langsung pamit dan berlalu dari
kelas karena pak Anwar, sopir pribadinya udah nunggu di depan sekolah.
Teman-teman sekelas hilang dari pandangan satu per satu. Kini, hanya ada
aku, Fania dan murid baru itu, Nindy. “ Nes, dia pulang bareng kita
berdua ya?” Fania menyahut dengan penuh semangat. Aku melirik Nindy
dengan wajah berseri-seri. “ Kenapa nggak? Ayo!” jawabku. Nindy
tersenyum kepadaku dan Fania. “ Thanks ya guys! Aku seneng banget ketemu
kalian.” Hampir 6 bulan Nindy bersekolah ditempatku. Selama itu pula
dia dekat denganku dan juga Fania. Bicara usahaku buat comblangin Afgan
dengan cewek berpostur tubuh langsing itu mulai berhasil. Aku ingat
seminggu yang lalu mempertemukan mereka disebuah café, tempat favoritku
bersama Fania waktu SMP lalu saat pulang sekolah. Nindy memang terkenal
anak yang pintar, tapi agak pendiam. Dari sikap pendiamnya itu, tak
muncul sebuah komunikasi face to face yang sempurna dengan Afgan. Oh ya,
bukan karena Nindy juga. Afgan pun terkenal cowok yang pemalu. Apalagi
masalah yang beginian. Makanya, dia minta tolong lewat aku. Senang
rasanya bisa membantu Afgan. Tapi, kok ada yang aneh denganku? Aku
sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan. Bingung memikirkan hal ini.
Setiap kali Afgan curhat tentang Nindy, disana, dihati kecilku
terselimut kegalauan. Apakah aku cemburu? Atau… apakah aku suka sama
Afgan??? Oh tidaaaaaaaaak!!! Tepat pukul 10 malam. Saat berada dalam
sebuah ruangan warna putih yang sangat luas, tak berpintu, berbunyi
sebuah lagu. Aku mengenal lagu itu yang berhasil membangunkanku dari
lelapnya tidur. “Hoooaammm,” sambil menggaruk-garuk kepala dan ngambil
handphone. 1 pesan dari Nindy langsung kubuka, dan isinya: ‘Anes, sorry
ganggu! Boleh minta nomor handphonennya Afgan?’. Percaya nggak percaya,
tapi inilah kenyataannya. Ngapain tengah malam seperti ini dia smsin aku
dan nanya nomor handphone Afgan? Lamunanku buyar ketika melihat 1 pesa
masuk lagi. Tetap sama. Itu sms kedua yang dikirim Nindy, bertanya
tentang nomor handphone Afgan! Dengan segera aku mencari kontak yang
bertuliskan ‘PIBO (Pipi Bonyok)’ dan segera membalas sms Nindy. Aku
masih mele, namun kedua mata udah maksa buat tidur. Kuletakkan handphone
ketempat semula dan kembali menarik selimut menutupi tubuh sampai
sejajar dengan leher. *** Pagi menjelang siang. Kantin masih rame
dengan penghuni sekolah. 15 menit lagi jam istirahat usai. Aku dan Fania
menghabiskannya dengan pergi ke perpustakaan untuk membaca sebuah buku
novel yang lagi hangat dibicarakan saat ini. Ditempat paling pojok,
terdapat Afgan dan Nindy sedang duduk bersama dan kayaknya serius
membaca. Aku menyenggol lengan Fania kemudian berbisik pada cewek yang
hobi membaca novel itu juga, sama sepertiku. “ Liat deh, mesra banget
kayaknya,” gumamku. Fania melirikku, “ Ciyeeee…. Ada yang cemburu nih!”
Fania malah menjahili. “ Ikh, Fan, apaan sih???” aku jadi salah tingkah.
“ Yaudah, kesana yuk!” ajak Fania sambil narik tangan aku. “ Hei!”
sapanya saat berada didekat Afgan dan Nindy. “ Eh, Fania, Anes? Ayo
duduk!” celetuk Nnindy sambil menutup buku yang dibaca. Selama 10 menit
lamanya kami ngobrol. “ Mmm.. Oh ya, semalam nanyain nomor handphone
Afgan buat apa, Ndy?” ujarku karena masih penasaran. Nindy tak
menjelaskan apa-apa. Dia malah mengunci mulutnya rapat-rapat. ‘kayaknya
privacy!’ pikirku. Bel masuk berbunyi, dan kami bubar dari tempat.
Pelajaran hari initelah usai tepat pukul 2 siang. Aku dan Fania mengajak
nindy pulang, tapi, Afgan menghalanginya. “ Bentar ya Fania, Anes. Aku
mau ngomong sesuatu sama Nindy. Ntar, dia nyusul kalian ke depan.” Wow!
Apa aku mimpi???? Afgan mengatakan hal itu??? Ini real! Aku sedang tak
bermimpi. Afgan kan pemalu, tapi dia berani mengatakan itu! Diam-diam
aku dan Fania memang sengaja mengintip pembicaraan mereka. “ Ndy, aku
pengen ngajak kamu nonton nanti malam! Mau nggak?”ungkap cowok pecinta
kentang balado itu, sambil megang kedua tangan Nindy. Kedua keningku
berkerut. Sepertinya aku cemburu. Disela-sela waktu, Fania melirikku.
Tapi, aku abaikan. Terserah dia mau berkata apa, karena memang inilah
kenyataannya. Aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri kalau ada rasa
yang lebih dari sekedar sahabat untuk Afgan. Aku dan Fania mengintip
dibalik jendela kelas dengan penuh was-was. Takut Afgan dan Nindy tahu. “
Ndy. Mau nggak?” tanya Afgan lagi untuk memastikan. Ternyata Nindy
mengiyakan dengan menganggukkan kepla sambil tersenyum. Sepertinya dia
udah mulai suka sama Afgan. Aku bisa melihat dari tingkah dan pipinya
yang merah merona. *** Malam itu, aku bergadang karena soal menumpuk
seakan mencekikku. Kedua mata sudah mulai sayu, namun kembali melek saat
melihat nama seseorang muncul dibalik layar handphone. Afgan! Aku
kegirangan dan heboh sendiri karena dia menelponku. “ Halo,” sapaku
setelah terhubung. “ Aneeeeeeees!!!” terdengar suara bahagia diseberang
sana. “ Ya, Gan! Enapa lo? Seneng banget kayaknya” ujarku sambil nulis.
“ iya dooong Nes. Gimana ggak coba? PDKT gue sama Nindy hari ini
berjalan mulus. So, gue bakal nembak dia besok! Gue mau ngucapin thanks
banget buat lo yang udah comblangin gue dengan dia.” Aku terdiam dan
berhenti nulis. Aku tak merespon kata-kata Afgan barusan. “ Halooo Nes!
Lo, masih disana kan???” Afgan kembali menyapa, dan menyadarkanku dari
lamunan. “ oh, ya, masih kok Gan. Mmm… selamat ya. Hoooaammm… gue
ngantuk banget nih! Pengen bobo, udah malem. Byeeee….” Aku segera
memutuskan komunikasi malam itu. Terpaksa aku harus berbohong.
Sebenarnya belum ngantuk, tapi aku tak sanggup untuk mendengarnya.
Dengan sangat terpaksa tangisanku pecah. Esok harinya, Afgan mendekati
dan memamerkan cerita PDKTnya semalam. Aku hanya merespon dengan
senyuman. Aku memang lagi berusaha untuk menjauhinya. Afgan mulai
sadar akan hal itu dari sikapku yang selalu berlalu jika dia mencoba
mendekatiku. Saat jam pelajaran kosong, aku keluar kelas dan kembali
masuk. Tapi, langkahku terhenti ketika melihat Afgan yang sedang duduk
disamping Nindy dan ternyata mencoba nembak cewek berkulit puih itu.
Teman-teman sekelas termasuk Fania menggoda mereka denan kata
‘ciyeeee’. OMG! Aku baru sadar mataku berkaca-kaca. Tanpa sengaja Afgan
mendapati keberadanku itu. Aku segera lari keluar kelas sambil nangis,
kemudian berhenti disebuah ruangan toilet. Didepan sebuah wastafel, aku
mengeluarkan isi hatiku yang galau. “ Hiks… hikss… hiks…. Gue bego
banget! Bego udah jatuh cinta sama lo Gan! Padahal.. gue udah coba naha
perasaan ini sebatas sahabat! Tapi, kenapa gue nggak bisa menutupi
semuanya?? Argggghhh….” Sambil nangis sesegukan. “ Lo nggak salah Nes!
Cita itu datang sendiri untuk siapapun. Lo nggak bisa nyalahin gimana
pun bentuk perasaan lo ke Afgan! Gue ngerti kok perasaan lo. Tapi, mau
gimana lagi??? Kayaknya Afgan dan Nindy emang udah pacaran. Kalau mau
nangis, keluarin aja semuanya!” ujar Fania dari belakang dan berhasil
mengagetkanku. Aku cepat-cepat membersihkan air mata yang masih
membasahi wajah. Tapi, emang dasar hati yang lagi galau., air mataku
terus keluar tak karuan. Tangisanku pecah dipelukan Fania. 5 menit
kemudian kami keluar. Lagi-lagi aku dibuat kaget, namun buakan karena
Fania. Afgan dan Nindy telah berdiri didepan toilet dan mereka mendengar
semua pembicaraanku bersama Fania. “ kenapa lo nggak jujur ke gue Nes?
Kenapa lo nggak pernah ngasih tanda kalo emang suka sama gue?” gerutu
Afgan dengan menatapku tajam. Aku tak menjawab sedikitpun, akan tetapi
malah lari menjauhi mereka. Tak terasa hampir seminggu aku tak
berkomunikasi dengan Afgan, karena aku selalu menjauhinya. Tapi, mau
bagaimana lagi???? Ini jalan satu-satunya buatmelupakan sosoknya. Siang
itu itu aku duduk menyendiri di perpustakaan. Tiba-tiba tangan seseorang
menyentuh pundakku. Aku menoleh kebelakang. Orang itu tersenyum
kearahku. “ Ishh, lepasin!” bentakku. Ternyata orang itu adalah Afgan.
Dia mengahalangi jalanku, dan membahas tentang kepergian Nindy ke Medan
karena pekerjaan orang tua. “ Aaa… apa???” bermacam pertanyaan mampir
dalam benakku. Dan aku baru ingat semalam Nindy datang kerumah nanyain
aku ke Mama, namun aku tak mau keluar kamar. Semalam juga dia nelpon
aku, tapi kuabaikan. Betapa menyesalnya! Mengenal Nindy adalah hal
terindah. Sampi saat ini aku tak percaya dia udah pergi. “ Nes,” Afgan
menyahut dengan suara setengah berbisik. Dia mentapku. “ Gue, gue tahu
ini terlalu cepat. Tapi, gue harus jujur, kalau suka sama lo! Dulu emang
nggak ada perasaan ini, tapi lama kelamaan gue juga ngerasain hal yang
sama lo rasain ke gue. ” Aku yakin ini palsu! Nggak mungkinlah Afgan
jatuh cinta sama aku! Dengan secepat mungkin, aku beranjak dari tempat,
namun, Afgan nahan lenganku dengan erat. Dan… pluk! Afgan memelukku
erat. Kedua mataku rasanya mau copot. Detak jantung terasa tak berdetak
lagi. Apalagi aliran darah seakan terhenti. “ Nes, gue minta maaf udah
buat lo kecewa. Gue berubah jadi berani itu karena lo. Lo, udah rubah
semuanya! Thanks banget, Nes” Afgan masih memelukku. “ Ya Gan,
sama-sama. Tapi, sorry banget! Rasa suka gue udah nggak ada buat lo, gue
malah sayang lo sebagai sahabat!” Afgan lantas melepaskan pelukannya. “
Oke Nes, gue terima. Sekarang… kita sahbatn lagi kan??” ujar Afgan
sambil mengacungkan jari kelingkingnya kearhku. “ iyaaaaaaa pibooooo….
Hahahhaha eh, salah, maksud gue Afgan :p “ batinku senang. “ Heh! Ini
perpus bukan untuk ngobrol, tapi tempat baca!” sahut seorang guru yang
terkenal kiler. “ hahahahha……” kami tertawa bersama sampai diluar
ruangan. Siswa-siswa yang ada disekitar tempat, menatap kami heran.
Namun, aku dan Afgan terus tertawa, tak memperdulikan mereka. Hmm…
rasanya semua beban yang selalu mengusikku pergi jauh. Aku
senaaaaaaaaaang banget punya seorang sahabat seperti Afgan, cowok yang
selalu pengertian. Aku tak ingin pisah darinya. Biarlh ajal yang
memisahkan kami. Afgan always in my heart and the one best friendship
for me! Thank you Afgansyah Reza
by : @anessyah_reza